Info : 0857 1100 4404

18
Okt

Basmalah

Oleh: Dr. Mohammad Nasih (Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ; Guru Utama di Rumah Perkaderan Monash Institute)

Basmalah merupakan sebutan singkat untuk kalimat “bismillâhirrahmânirrahîm” yang pada hampir semua buku terjemahan bahasa Indonesia dialihbahasakan menjadi “dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang”. Terjemahan dan makna yang terkandung di dalamnya, secara umum telah diterima oleh kebanyakan orang, seolah tanpa masalah. Padahal, kalau dilihat konteks sosio-historis dua kata tersebut muncul, terjemahan dua kata tersebut bisa dikatakan sangat tidak memadai. Memang, di antara masalah klasik dalam menerjemahkan adalah sebuah kata dalam bahasa tertentu belum tentu memiliki padanan yang tepat dengan kata dalam bahasa lain. Sebab, sangat banyak kata muncul karena situasi dan kondisi lokal tertentu yang tidak terdapat pada lokalitas yang lain. Itulah juga yang melingkupi kedua kata al-rahmân dan al-rahîm.

Arti “pengasih” dan “penyayang” untuk dua kata terakhir dalam basmalah tersebut sesungguhnya jauh dari perspektif yang ingin disampaikan oleh Islam sebagai ajaran pembaharuan yang diserukan oleh Nabi Muhammad. Sebab, pada dasarnya, tidak ada perbedaan yang signifikan antara kasih dan sayang. Keduanya secara sederhana bisa dikatakan sebagai sinonim saja. Berbeda dengan kata al-rahman dan al-rahim, yang walaupun berasal dari akar kata yang sama, tetapi justru memiliki makna dengan perspektif yang sangat berbeda.

Secara historis, kedua kata tersebut merupakan kata-kata baru yang dikenal setelah Islam datang. Mungkin, “klaim” bahwa keduanya baru muncul setelah Islam, akan ditangkal dengan keberadaan nama sahabat yang berusia hanya selisih dua tahun lebih muda dibandingkan Nabi Muhammad, yakni Abdurrahman bin Auf. Namun, dengan menelusuri masa lalunya, justru akan makin nampak nyata bahwa keduanya memang adalah kata-kata baru setelah Islam datang. Sebab, nama asli atau kecil Abdurrahman bin Auf adalah Abdu ‘Amr (hamba ‘Amr). Karena makna nama tersebut bernuansa pagan, maka setelah ia masuk Islam, Rasulullah mengubahnya menjadi Abdurrahman. Makin jelas lagi bahwa kedua kata tersebut dimaksudkan untuk memberikan paradigma baru tentang Allah yang sebelumnya telah hilang dari paradigma masyarakat Arab jahiliyah yang berpaham materialisme.

Ketiadaan paradigma tentang Allah yang dibawa oleh Islam nampak dari sikap Suhail bin Amr saat ia menolak dua kata tersebut ditulis dalam pembukaan naskah perjanjian Hudaybiyah. Awalnya, Ali bin Abi Thalib menulis “bismillâhirrahmânirrahîm” secara lengkap sebagai kalimat pembuka. Namun, Suhail bin Amr mengatakan bahwa dia tidak kenal kedua sifat Allah tersebut. Karena itu, dia meminta agar kedua kata itu dihapus. Setelah melakukan negosiasi, lalu Nabi Muhammad setuju dan memerintahkan Ali untuk menghapuskannya, sehingga menjadi hanya bismikallâhumma.

Al-Qurthubi mengartikan al-rahmân sebagai Dzat yang memberikan rahmat secara universal, kepada seluruh ciptaan Allah. Tidak ada perbedaan antara mereka yang beriman dengan yang kafir, yang islam maupun yang membangkang. Misalnya, Allah memberikan fasilitas-fasilitas dasar untuk menunjang kehidupan, seperti oksigen, ketersediaan rizki, dan lain sebagainya tanpa membeda-bedakan sama sekali. Namun, kesamaan rahmat tidak akan lagi diberikan di akhirat. Sebab, di akhirat nanti, hanya orang-orang yang beriman sejati dan berislam sungguh-sungguhlah yang akan mendapatkan rahmatNya. Sedangkan mereka yang kafir dan/atau ingkar kepada Allah, akan jauh dari rahmatNya. Mereka akan disiksa di dalam neraka, bahkan selamanya.  Karena itu, basmalah sesungguhnya adalah deklarasi yang sangat tegas oleh Islam tentang prasyarat mendapat rahmat yang paripurna dari Allah Swt., tidak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat nanti. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Leave a Reply