Info : 0857 1100 4404

18
Okt

Bay’at

Oleh: Dr. Mohammad Nasih (Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ; Guru Utama di Rumah Perkaderan Monash Institute)

Setelah satu dekade berdakwah di Makkah dan tidak mendapatkan hasil signifikan, bahkan semakin dimusuhi oleh para elite Makkah, Nabi Muhammad merencanakan untuk berhijrah ke Madinah. Hijrah didahului oleh dua kali bay’at (janji setia) yang kemudian dikenal dengan Bay’at al-Aqabah I dan II, masing-masing oleh dua belas orang dan tujuh puluhan orang dari Yatsrib. Inti isi perjanjian tersebut adalah mereka akan taat kepada Nabi Muhammad dalam keadaan apa pun. Mereka juga akan menjamin keselamatan Nabi Muhammad di Yatsrib dan menjadikannya sebagai pemimpin.

Bukan hanya mereka yang berjanji kepada Nabi, tetapi mereka juga meminta komitmen Nabi Muhammad, yakni: jika beliau nantinya sukses di Yatsrib, tetapi akan tetap tinggal di di sana. Komitmen ini seolah ringan. Tetapi sesungguhnya tidaklah demikian, karena Nabi Muhammad sangat mencintai Makkah. Jika bukan karena kedurhakaan dan tindakan aniaya kaumnya, maka Nabi tidak akan pernah meninggalkannya. Karena itu, sesungguhnya yang terjadi antara kedua belah pihak tersebut adalah kontrak sosial (social contract).

Setelah melakukan bay’at tersebut, Nabi Muhammad kemudian benar-benar melakukan hijrah. Hijrah Nabi Muhammad bukan sekedar berpindah tempat, tetapi memiliki visi besar untuk membangun sebuah peradaban baru yang tinggi. Karena itulah, Nabi Muhammad mengubah nama Yatsrib menjadi Madinah. Perubahan itu memiliki arti yang sangat penting. Sebab, Yatsrib hanya sekedar nama orang yang membangun kota di sebuah oase subur di tengah-tengah banyak pegunungan sebagaimana umumnya di tanah Arab. Kata Madinah biasanya hanya dimaknai sebagai kota. Namun jika dirunut secara kebahasaan, kata Madinah ini akan mengantarkan kepada pemahaman yang sangat mendalam. Kata Madinah merupakan mashdar dari kata bentuk lampau dâna-yadînu-daynan-wa dînan berarti hutang dan agama. Dalam pepatah Arab, janji adalah hutang. Jika dibalik, hutang merupakan tak lain adalah janji yang harus dipenuhi. Dan bay’at juga bisa diartikan jual-beli yang di dalamnya terdapat kesepakatan (harga), juga rentang waktu tertentu.

Nabi Muhammad telah menjalin perjanjian dengan sekelompok penduduk Yatsrib yang harus dipenuhinya. Dan sebagai pembawa dîn (agama) Allah, Ia memiliki kewajiban untuk menjalankannya dalam kehidupan nyata. Karena itu, langkah mengubah nama Yatsrib menjadi Madinah sesungguhnya merupakan awal dari sebuah missi untuk menjalankan perjanjian dan sekaligus ajaran agama Islam di dalamnya.

Dalam praktik kehidupan bernegara di Madinah, Nabi Muhammad juga membangun perjanjian yang kemudian dikenal sebagai perjanjian tertulis pertama kali yang mengatur secara sangat detil kehidupan bersama entitas-entitas SARA di Madinah saat itu. Di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad, semua entitas SARA itu bisa menjalankan keyakinannya masing-masing. Kelompok-kelompok yang melakukan pelanggaran, diancam oleh hukuman yang jelas, dan dalam praktik kemudian ditindak secara tegas sesuai dengan aturan main yang telah disepakati bersama. Pengusiran dan vonis hukuman mati terhadap entitas Yahudi saat itu misalnya, sama sekali bukan karena agama mereka, tetapi karena mereka adalah kelompok yang melakukan pelanggaran kesepakatan disebabkan mereka berkomplot dengan kekuatan luar yang hendak menghancurkan kedaulatan Madinah. Jika tidak terjadi pengkhianatan itu, maka mungkin sekali akan kita saksikan sampai hari ini, Madinah menjadi sebuah negara bangsa yang masyarakatnya berkebhinnekaan SARA. Dan di atas semua itu, Nabi Muhammad adalah sosok yang mencetuskan kontrak sosial sekaligus juga pemimpin dalam melaksanakannya dengan segala konsekuensinya, bukan Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), dan Rousseau (1712-1778) menteorisasikannya dalam disiplin ilmu sosial dan politik yang umumnya kita kenal sekarang. Islam lebih maju belasan abad dalam tradisi dan praktek pembangunan negara modern. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Leave a Reply