Info : 0857 1100 4404

18
Okt

Diyat

Oleh: Dr. Mohammad Nasih (Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ; Guru Utama di Rumah Perkaderan Monash Institute)

Dalam Islam, hukuman membunuh orang lain tanpa sebab yang dibenarkan oleh syari’at adalah 100 ekor unta. Jumlah 100 tersebut memiliki latar belakang sejarah yang cukup pelik yang bermula dari nadzar Abdul Muththalib, kakek Nabi Muhammad. Pada saat Abdul Muththalib melaksanakan perintah dalam mimpinya untuk menggali kembali sumur Zamzam, ia hanya punya seorang anak bernama Harits. Padahal pada saat itu, anak sangat diperlukan untuk membantu mengerjakan banyak hal, termasuk juga untuk menghadapi orang atau kelompok lain yang tidak suka dan menjadi penghalang. Termasuk ketika Abdul Muththalib hendak melakukan penggalian, tidak sedikit orang dari kalangan Quraisy yang menghalang-halanginya, karena dia melakukan penggalian di tanah yang sangat dekat dengan Ka’bah. Untung saja, ia kemudian benar-benar berhasil menunjukkan bahwa usahanya itu benar-benar menghasilkan sesuatu yang sangat berguna bagi banyak orang. Bahkan sempat terjadi usaha perebutan penguasaan atas sumur Zamzam yang baru saja ditemukan. Namun, kemudian diputuskan bahwa Abdul Muththalib-lah yang berhak atas penguasaan sumur Zamzam. Dan itu semakin memperkuat posisinya sebagai pemberi minum orang-orang yang sedang menjalankan haji.

Karena pengalaman hidup yang sulit disebabkan memiliki hanya seorang anak, Abdul Muththalib kemudian bernadzar kepada Allah bahwa jika ia memiliki 10 orang anak, maka ia akan mengorbankan seorang di antaranya. Dan ternyata Allah benar-benar memberikan 10 orang anak kepadanya. Integritas Abdul Muththalib benar-benar mendorongnya untuk menjalankan nadzarnya itu. Namun, pada saat ia hendak menjalankan nadzarnya, banyak orang dari kaumnya yang menghalang-halanginya. Menurut mereka, dengan posisi Abdul Muththalib sebagai pemimpin suku, apa yang akan dilakukan oleh Abdul Muththalib akan menjadi kebiasaan orang-orang sesudahnya. Dan itu bisa menghilangkan kebahagiaan keluarga. Sebab, apabila mereka memiliki 10 orang anak, mereka mesti mengorbankan salah seorang di antaranya. Namun, Abdul Muththalib juga tidak mungkin mengingkari nadzarnya.

Muncullah ide dari mereka yang tidak setuju pelaksanaan nadzarnya itu, agar Abdul Muththalib mendatangi seorang dukun di Madinah untuk memberikan solusi dari persoalan tersebut. Dukun tersebut lalu bertanya tentang ganti jiwa yang terbunuh dalam masyarakatnya dan dijawab dengan 10 ekor unta betina. Dukun itu kemudian memberikan saran bahwa Abdullah harus diundi dengan 10 ekor betina. Jika nama Abdullah keluar lagi, maka harus ditambah lagi dengan 10 ekor unta lagi. Pengundian itu benar-benar dilakukan. Namun, setiap kali pengundian dilakukan, nama Abdullah selalu keluar samapi jumlah unta yang harus disembelih berjumlah 100 ekor. Itulah awal mula diyat dengan 100 ekor unta.

Walaupun diyat tersebut muncul pada tradisi Jahiliyah, tetapi Islam kemudian tetap menjadikannya sebagai jumlah tebusan atas orang yang melakukan pembunuhan yang dimaafkan oleh keluarga korban. Di antara hikmah dari hukuman yang berat ini adalah agar tidak ada orang yang menganggap remeh nyawa orang lain. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Leave a Reply