Info : 0857 1100 4404

18
Okt

Fitnah

Oleh: Dr. Mohammad Nasih (Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ; Guru Utama di Rumah Perkaderan Monash Institute)

Tidak sedikit orang, termasuk kalangan intelektual dan elite politik, mengatakan “Fitnah lebih kejam dibanding pembunuhan” dalam konteks, konotasi, dan—berimplikasi kepada—makna  yang tidak tepat. Fitnah dalam ungkapan mereka biasanya dipahami sebagai tuduhan palsu, alias tidak berdasarkan pada data yang benar, sehingga merugikan, atau mencermarkan dan merusak nama baik, orang lain.

Ungkapan tersebut nampaknya merujuk pada QS. al-Baqarah: 191 dan 217. Namun, sesungguhnya itu pun masih terdapat distorsi. Sebab, teks yang terdapat dalam dua ayat tersebut tidak menyebut fitnah sebagai “lebih kejam”, tetapi “al-fitnatu asyaddu/akbaru min al-qatl, fitnah lebih berat (al-Baqarah: 191)/besar (al-Baqarah: 217) dibanding pembunuhan”. Dan fitnah yang dimaksud dalam dua ayat tersebut, sebagaimana dikatakan oleh seluruh ahli tafsir, adalah tindakan menyekutukan Allah (syirk bi Allah).

Konteks ayat tersebut adalah Allah memperbolehkan Nabi Muhammad memerangi orang-orang musyrik yang saat itu memusuhi dan bahkan menghalang-halangi kaum muslimin untuk mengunjungi masjid al-haram. Ayat ini sesungguhnya berperspektif sama dengan banyak ayat lain yang menyatakan bahwa menyekutukan Allah adalah perbuatan dosa sangat besar, sehingga disebut sebagai kedhaliman yang besar (dhulmun adhîm) (Luqman: 13). Dan ada dua ayat lain yang bahkan menyatakan dengan tegas bahwa syirik merupakan perbuatan dosa yang Allah tidak berkenan untuk mengampuninya.

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (al-Nisa’: 48).  “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (al-Nisa’: 116).

Sedangkan pembunuhan adalah dosa yang masih bisa diampuni oleh Allah. Karena itu, sangat masuk akal al-Qur’an menyebut bahwa syirik memiliki akibat atau implikasi yang lebih berat dan besar dibandingkan pembunuhan. Sebab, dosa pembunuhan bisa diampuni oleh Allah Swt.. Sedangkan dosa syirik sudah dinyatakan secara tegas bahwa Allah tidak akan meampuninya. Karena itulah, perbuatan menyekutukan Allah, yang walaupun sesungguhnya masih ada unsur percaya kepada Allah, oleh al-Qur’an dipandang sebagai perbuatan yang sama nilainya dengan kekafiran (kufr). Sedangkan kekafiran sikap yang akan mengantarkan kepada neraka selamanya (al-Taubah: 63 & 68, al-Bayyinah: 6). Wallahu a’lam bi al-shawab.

1 Response

Leave a Reply