Kafir
Oleh: Dr. Mohammad Nasih (Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ; Guru Utama di Rumah Perkaderan Monash Institute)
Kata kafir sudah sangat akrab sebagai ungkapan dalam bahasa Indonesia. Kata ini berasal dari kata: ka-fa-ra, yak-fu-ru, kufr; berarti menutupi. Karena itu, kata ini sering dihubungkan dengan kata dalam bahasa Inggris to cover. Kata ini, biasanya digunakan untuk menyebut orang yang tidak memeluk agama Islam.
Kata kafir, awalnya tidak memiliki muatan ideologis sama sekali. Sebelum Islam datang, kata kâfir bahkan bermakna petani. Sebab, pada umumnya petani dalam melakukan kerja-kerja pertanian, harus menutupi biji-biji yang mereka tanam agar tidak dimakan oleh burung. Dalam konteks ini, kata kafir sesungguhnya sekedar bermuatan makna teknikal, jauh sama sekali dari muatan ideologis. Kata dengan tanpa muatan ideologis tersebut masih digunakan oleh al-Qur’an dalam bentuk plural “kuffâr”, walaupun hanya dalam satu ayat, yakni di QS. al-Hadid: 20.
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani (al-kuffâr); kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (al-Hadîd: 20)
Selain pada satu ayat tersebut, segala turunan kata kufr mengandung dua makna baru, karena bermuatan ideologis, yakni orang-orang yang tidak memiliki konsep iman Islam dan penghapusan dosa-dosa. Dalam konteks arti yang pertama, kata kufr digunakan untuk menyebut sikap orang-orang yang sesungguhnya telah mengetahui bahwa akan datang kepada mereka seorang utusan Allah, tetapi mereka menutupi informasi itu, karena perasaan iri dengki kepada Nabi Muhammad yang mendapatkan karunia kerasulan. Orang Yahudi misalnya, tidak mau mengakui Muhammad sebagai rasul, karena jauh-jauh hari sebelumnya, sampai kemudian menjadi paradigma yang kuat, bahwa rasul yang terakhir akan lahir dari keturunan Ya’qub. Namun, ternyata rasul terakhir itu lahir dari garis keturunan Isma’il. Dalam konteks tersebut, kufr bermakna sama dengan kitmân. Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati.” (al-Baqarah: 159) Ayat yang senada dan bahkan mirip dengan ini adalah al-Baqarah: 174.
Kufr dalam arti kedua, terdapat dalam ayat-ayat tentang orang-orang yang melakukan kebaikan yang karena kebaikan itu dosa-dosa pelakunya akan ditutup oleh Allah. Karena ditutupi, maka dianggap sama dengan terhapus. Allah berfirman:
“Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Baqarah: 271). Banyak ayat lain yang memuat konotasi yang sama dengan ayat ini, di antaranya al-Anfal: 29, al-Tahrim: 8. Wallahu a’lam bi al-shawâb.