Info : 0857 1100 4404

18
Okt

Nafsu

Oleh: Dr. Mohammad Nasih (Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ; Guru Utama di Rumah Perkaderan Monash Institute)

Kata nafsu secara bahasa berkonotasi sebagai dorongan untuk mengerjakan sesuatu; biasanya dianggap berkonotasi negatif, tetapi sesungguhnya juga positif. Maka muncul istilah-istilah berkait dengan nafsu, di antaranya nafsu makan, nafsu seks, dan nafsu amarah. Namun, istilah yang terakhir ini sering muncul dalam konteks yang tidak sesuai dengan makna yang sesungguhnya, karena makna kata amarah dalam bahasa Arab dipahami dengan kata amarah dalam bahasa Indonesia, yakni pelampiasan rasa jengkel.

Al-Qur’an membagi nafsu secara umum menjadi tiga, yaitu al-nafs al-ammârah bi al-sû’, al-nafs al-lawwâmah, dan al-nafs al-muthma’innah. Al-Qur’an, walaupun tidak secara langsung, juga memberikan contoh-contok ketiga nafsu tersebut.

Al-Nafs al-ammârah bi al-sû’ (nafsu yang sering memerintahkan kepada keburukan), sesuai dengan sebutannya mendorong kepada tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan panduan Allah Swt.. Sebaliknya, nafsu ini justru mengarahkan kepada tindakan-tindakan pembangkangan terhadap Allah dan melakukan laranganNya. Yang diperintahkan tidak dilakukan, sedangkan yang dilarang justru dikerjakan. Inilah nafsu yang akan mengantarkan kepada kesengsaraan, bisa di dunia, dan yang pasti di akhirat. Umumnya nafsu mendorong kepada keburukan, kecuali yang mendapatkan rahmat Allah. (Yusuf: 53).

Al-Nafs al-lawwâmah (nafsu yang sering mencela), yaitu dorongan untuk mencela diri sendiri karena mengalami kesadaran tentang keburukan yang telah dilakukan. Celaan dalam konteks ini bermuatan positif, karena yang dicela adalah diri sendiri disebabkan oleh adanya kesadaran dalam diri, bahwa seharusnya perbuatan yang buruk tidak dilakukan. Ketika kesadaran telah melakukan keburukan itu muncul, maka juga bersegera memohon ampun kepada Allah Swt.. Sikap ini dicontohkan oleh beberapa Nabi Allah, di antaranya Nabi Adam, Yunus, dan Musa. Nabi Adam dan istrinya sadar telah keliru, ketika mendapatkan tanda-tanda kekeliruan itu, lalu bertaubat dan memohon rahmat. “Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (al-A’râf: 23). Nabi Yunus ketika merasa putus asa ditentang oleh kaumnya lalu meninggalkan mereka dalam kesesatan. Karena sikapnya itu, maka Allah membuatnya dimakan ikan paus. Namun, ia kemudian tersadar bahwa tindakannya itu tidak tepat. “Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: “Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim“. (al-Anbiyâ’: 87) Demikian pula yang dilakukan oleh Nabi Musa, ketika tanpa sengaja tinjunya menyebabkan seseorang meninggal dunia. “Musa mendoa: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri, karena itu ampunilah aku. Maka Allah mengampuninya. Sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Qashash: 16)

Sedangkan al-nafs al-muthma’innah (nafsu yang tenang), yaitu dorongan yang tidak mengarah kepada yang buruk, sebaliknya sudah istiqamah atau konsisten mengarah kepada kebaikan-kebaikan yang digariskan oleh Allah Swt.. Nafsu yang tenang ini menghindarkan dari dorongan-dorongan kepada yang bersifat dunia, dan hanya mengarah kepada ridla Tuhan. Karena itulah, jiwa yang sudah demikian itu kemudian dipanggil oleh Allah untuk kembali ke tempat asalnya, yaitu surga. “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai; lalu masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (al-Fajr: 27-30). Nafsu inilah yang harus dimiliki oleh setiap insan, agar kembali kepada Allah dengan bahagia dan masuk surgaNya. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Leave a Reply