Nasihat
Oleh: Dr. Mohammad Nasih (Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ; Guru Utama di Rumah Perkaderan Monash Institute)
Kata “nashîhat” merupakan bahasa Arab yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia dan biasanya maknai sebagai “pesan yang baik” dengan konotasi yang sesungguhnya mengajari atau mengarahkan. Namun, makna tersebut sesungguhnya tidak cocok, dan bahkan bisa menimbulkan kekeliruan fatal dalam memahami teks-teks, baik al-Qur’an maupun hadits Nabi Muhammad. Di antara yang bisa menimbulkan kekeliruan fatal adalah pemaknaan tersebut untuk hadits:
Nabi Muhammad bersabda: “Agama adalah nashîhat, agama adalah nashîhat, agama adalah nashîhat.” Mereka (para Sahabat) bertanya: “Untuk siapa, wahai Rasulallah?” Rasulullah saw. menjawab: “Untuk Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin atau mukminin, dan bagi kaum muslimin pada umumnya.” (HR. Muslim no. 55)
Jika nashîhat diartikan dengan memberikan pesan yang baik, tentu saja akan menimbulkan kejanggalan. Sebab, tidak mungkin memberikan pesan kebaikan kepada Allah, kitabNya, dan rasulNya. Justru orang-orang berimanlah yang membutuhkan pesan-pesan kebaikan dari Allah, KitabNya, dan rasulNya. Sebab, ketiganya merupakan sumber panduan dalam menjalani segala aspek kehidupan, sampai hari kiamat nanti. Makna “pesan kebaikan” hanya cocok untuk dua pihak yang lain, yaitu pemimpin orang-orang beriman, dan orang beriman secara umum. Pemimpin orang beriman memerlukan pesan-pesan kebaikan, karena kekuasaan memiliki kecenderungan menyeleweng. Karena itu, diperlukan orang yang berani mengatakan kebenaran walaupun itu pahit sebagaimana diperintahkan juga oleh Nabi Muhammad. “Katakan yang benar, walaupun itu pahit”. Dan orang-orang beriman dari kalangan awam memerlukan pesan kebaikan sebagai panduan untuk mereka, agar senantiasa berada dalam koridor yang benar dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan agama.
Makna nashîhat yang paling tepat sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu al-Mandhur adalah akhlasha, memurnikan. Kata lain yang paling tepat untuk maknanya adalah komitmen. Dengan demikian, hadits tersebut akan bisa dipahami dengan sangat baik, yakni: agama adalah komitmen kepada Allah, kitabNya, rasulNya, pemimpin orang-orang beriman, dan orang-orang beriman secara keseluruhan. Jadi, tidak bisa disebut sebagai orang yang beragama, apabila tidak memiliki komitmen yang kuat kepada Allah, kitabNya, dan rasulNya sebagai satu kesatuan. Tunduk dan patuh kepada Allah, berarti tunduk dan patuh melaksanakan panduan yang ada di dalam al-Qur’an maupun sunnah Nabi Muhammad. Di dalam Islam, juga terdapat panduan tentang kepemimpinan. Kepemimpinan mendapatkan legitimasi dari agama, baik di dalam al-Qur’an maupun sunnah, untuk dipatuhi. Bahkan al-Qur’an menyebut ketaatan kepada ulil amri setelah Allah dan rasulNya. Kepatuhan itulah komitmen. Sebaliknya, seseorang yang mendapatkan amanah untuk menjadi pemimpin, harus memiliki komitmen yang kuat kepada rakyat. Jika tidak memiliki komitmen yang kuat kepada rakyat, maka sesungguhnya telah mengabaikan agama, karena tidak menjalankan ajarannya.
Makna komitmen ini juga akan bisa dirasakan sangat tepat untuk kata yang berakar kata nashîhat dalam al-Qur’an, terutama: Yusuf: 11 dan Tahrim: 8. Bahkan, makna ini adalah satu-satunya makna yang paling bisa memahamkan untuk al-Tahrim: tersebut. Wallahu a’lam bi al-shawab.