Info : 0857 1100 4404

18
Okt

Waktu

Oleh: Dr. Mohammad Nasih (Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ; Guru Utama di Rumah Perkaderan Monash Institute)

Waktu bagaikan pedang; jika kamu tidak memotongnya, maka dia akan memotongmu.” (Pepatah Arab).

Pepatah Arab tersebut memiliki kedalaman yang lebih dibandingkan pepatah Barat yang mengibaratkan waktu sebagai uang, “time is money”. Sebab, pepatah Arab tersebut lebih mengingatkan kepada saat terakhir menjemput kematian. Ungkapan “waktu adalah uang” akan lebih membuat orang menjadi cenderung untuk sangat ambisius terhadap dunia disertai keinginan untuk hidup 1000 tahun lagi. Sebaliknya, ungkapan “waktu ibarat pedang” mengingatkan orang agar mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian.

Kenapa pedang? Sebab, secara historis sosiologis, masyarakat Arab pra Islam memiliki hubungan sangat erat dengan pedang. Pada saat itu, mereka hidup dalam suku-suku yang masing-masing membangun persekutuan untuk saling melindungi. Ini dilatarbelakangi oleh pertentangan yang sangat sering terjadi di antara mereka, baik dalam skala kecil maupun dalam skala besar dan menyebabkan korban nyawa. Konflik di antara mereka sering diselesaikan dengan cara peperangan, walaupun ada pula yang mengatakan bahwa peperangan di antara mereka sesungguhnya lebih mirip dengan olimpiade. Perang menjadi seni tersendiri yang dijadikan sebagai ukuran keunggulan suku. Karena itulah, pedang menjadi benda yang mendapatkan fokus perhatian tersendiri oleh mereka. Sama dengan karena perhatian mereka yang sangat besar kepada unta, sehingga mereka membuat perumpamaan “sampai unta masuk ke dalam lubang jarum, hattâ yalija al-jamalu fi samm al-khiyâth” (al-A’raf: 40) untuk menggambarkan sesuatu yang tidak mungkin.

Allah memberikan karunia yang berbeda-beda kepada seluruh manusia, misalnya perbedaan rupa, bentuk rambut, jenis kelamin, dan lain-lain. Namun, ada satu karunia yang sama, yaitu waktu. Namun, dalam rentang waktu yang sama, capaian mereka berbeda-beda. Dua orang dengan anugerah waktu yang sama, bisa saja yang satu miskin sedangkan yang lain kaya. Yang satu lagi memiliki capaian intelektual yang membanggakan, sedangkan yang lainnya biasa-biasa saja, bahkan tergolong bodoh. Di antara yang menyebabkan demikian adalah efektivitas dan efisiensi dalam memanfaatkan waktu. Yang tidak efektif dan/atau efisien dalam memanfaatkan waktu, seolah-olah tiba-tiba telah sampai kepada ajal, padahal belum melakukan sesuatu yang signifikan.

Orang-orang yang memiliki semangat yang tinggi untuk beraktivitas, baik untuk beribadah maupun kerja, merasa bahwa waktu berlalu dengan sangat cepat, sehingga mereka merasa bahwa waktu mereka kurang. Namun, orang-orang yang lalai merasa bahwa mereka tidak mau dan/atau tidak mampu untuk memanfaatkannya dengan baik. Karena itu, pepatah ini sesungguhnya merupakan pengingat bagi orang-orang yang lalai, baik untuk urusan dunia maupun  akhirat, yang tentu saja urusan dunia yang dimaksud adalah yang bisa dijadikan sebagai bekal akhirat, agar mereka sadar bahwa sesungguhnya waktu berlalu dengan sangat cepat, sehingga tanpa terasa setiap orang sampai kepada ajal masing-masing, seperti pedang yang menebas tubuh dan kemudian membuatnya meregang nyawa dan meninggal dunia untuk selamanya.

Jika dibuat skala juga, jika kehidupan di dunia ini dibandingkan dengan kehidupan di akhirat yang kekal, kehidupan di dunia ini sesungguhnya hanya limit mendekati 0. Karena itulah, kehidupan di dunia ini sering diibaratkan sebagai sekedar mampir minum saja. Kehidupan di akhiratlah yang akan menjadi kehidupan yang panjang dan disebut dengan kehidupan yang sesungguhnya. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Leave a Reply