Info : 0857 1100 4404

5
Okt

Nama Unik Anak

Beberapa teman bertanya, tentang nama empat anak saya yang menurut mereka agak aneh, yaitu: Atana HOKMA Denena, Atena HEKMAta Mellatena, Atana MOLKA Baladena, dan Atana DAWLA Boldanena. Rangkaian huruf-huruf besar itu adalah panggilan yang saya rencanakan. Biasanya mereka bertanya seputar bahasa apa itu, dan apa artinya? Ada juga satu dua yang langsung menduga bahwa nama-nama anak saya itu bahasa Jepang. Mungkin karena kata depan dan akhir berakhir na, dan kata tengahnya juga berakhir dengan huruf vokal A. Sesungguhnya, nama semua anak saya menggunakan bahasa Arab.

Saya selalu mengupayakan untuk memberikan nama yang terbaik bagi anak-anak saya. Sebab, nama yang baik, sebagaimana sabda Nabi Muhammad, adalah hak anak. Bagi saya, nama anak sangat penting, karena di dalamnya terkandung banyak hal, di antaranya: do’a saya, penanda suasana hati saya, pengingat realitas sosial politik saat anak saya dilahirkan, cita-cita saya, motivasi untuk anak saya, baik yang saya namai maupun anak-anak lainnya, biologis maupun ideologis, dan yang pasti adalah identitas yang unik yang belum pernah digunakan sebelumnya sehingga mereka mudah diingat oleh para sahabat mereka atau banyak orang dalam pergaulan kelak. Untuk memastikan keunikan itu, saya memilih untuk memberikan tiga kata untuk nama anak-anak saya dengan transliterasi yang saya sengaja agak berbeda terutama berdasar fonetik.

Atana HOKMA Denena sesungguhnya merupakan bacaan ringan dari Aataanaa Hukma Diininaa yang berarti “Semoga Allah memberikan kepada kami hukum (maksud saya juga adalah panduan) agama kami”. Saat Hokma lahir pada 05-04-2011, saya memang baru beberapa tahun keluar dari–dan makin mantap untuk meninggalkan–fase berpikir liberal. Kemantapan untuk kembali menggunakan kerangka paradigma al-Qur’an datang pada kira-kira medio 2006 tak lama setelah saya menempuh studi S3 di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI. Saat itu saya tersengat oleh salah satu teori Huntington dalam karyanya yang menjadi bacaan wajib mahasiswa ilmu politik “Political Orde in Changing Societies” tentang kriteria negara demokrasi. Menurut saya, teori yang menghasilkan definisi negara demokrasi Huntington itu sangat bias Barat, utamanya Amerika. Dan itu berarti ada kepentingan di dalamnya. Saat itu, saya langsung berpikir, daripada mengikuti pikiran mereka, lebih baik saya mengikuti Muhammad yang cara berpikir dan praktik kehidupannya lebih jelas, teratur, dan ditiru oleh banyak orang yang terbukti saleh. Jika pun Muhammad bukan seorang nabi, dia adalah manusia hebat yang pikirannya benar-benar dia laksanakan bersama dengan banyak orang yang hidup sezaman dengannya, lalu terus diupayakan ditiru sampai sekarang oleh makin banyak orang. Untuk menguatkan pilihan itu, saya tentu berusaha mencari landasan argumennya, sampai saya menemukan empat argumen rasional percaya kepada al-Qur’an. Argumen yang membuat saya makin yakin kebenaran Islam inilah di antara yang mendorong saya mendirikan Rumah Perkaderan Monash Institute. Lembaga ini saya gunakan untuk berbagai hal, di antaranya yang kemudian saya sebut imunisasi tauhid, agar anak-anak muda yang baru saja masuk perguruan tinggi tidak mengalami gegar budaya dan tetap berpegang pada paradigma Islam dengan argumen rasional, tidak doktriner belaka. Mengajar para disciples (sebutan yang saya gunakan untuk para mahasiswa penerima beasiswa MI) setiap setelah shalat shubuh dan maghrib membuat saya sedikit demi sedikit melihat kebenaran Islam itu tak terbantahkan sama sekali. Ajaran Islam, baik yang ada dalam al-Qur’an maupun hadits Nabi Muhammad, benar-benar adalah hukum Allah yang harus dijalankan secara nyata dalam seluruh kehidupan kita. Itulah yang membuat saya ingin agar Allah membimbing saya dan keluarga agar selalu dalam koridor agamaNya. Itu saya ungkapkan dengan nama anak pertama saya.

Kata Atana terinspirasi oleh sebuah kata dalam QS. al-Taubah: 75. Kata hukm, terdapat di banyak ayat di dalam al-Qur’an. Demikian pula kata diin. Dan rangkaian tiga kata itu menurut saya belum pernah digunakan oleh siapa pun di seluruh dunia ini. Karena itu, nama ini akan benar-benar menjadi sangat unik. Dan agar orang-orang yang mengidap Islamophobia tidak menganggap nama ini layak dicurigai sebagai wujud apa yang sering mereka sebuat “radikalisme dan fundamentalisme”, saya mengubah huruf U pada Hukma menjadi O, dan I pada Diininaa menjadi E dan membuang satu huruf sebagai tanda dibaca panjang. Orang yang paham bahasa Arab pasti akan dengan mudah menangkap bahwa semua kata yang saya gunakan untuk nama anak saya itu adalah bahasa Arab.

Setelah itu, saya sering merenung untuk menemukan nama bagi anak kedua kami. Tentu saya ingin yang memiliki muatan yang lebih dalam lagi. Jika nama anak pertama saya menempatkan Allah agak jauh karena sebagai orang ketiga, saya ingin agar untuk yang kedua ini Allah terasa lebih dekat sebagai orang kedua. Pilihannya adalah mengubah kata aataanaa yang fi’l maadli menjadi amr, aatinaa. Saat itu saya membayangkan punya anak perempuan. Dan kata dalam fi’l amr itu cocok. Terlebih juga diulang berkali-kali dalam al-Qur’an, salah satunya dalam do’a sapu jagat (al-Baqarah: 201). Yang membuat saya makin suka kata aatinaa ini adalah kalau dibaca miring huruf I-nya menjadi aatenaa. Kata ini mengingatkan saya kepada sebuah kota di Yunani. Di dalam diskursus ilmu politik, sejarah politik Yunani Kuno pasti menjadi hal dasar. Di antara polis yang sering disebut adalah Atena dan Sparta. Atena sering disebut sebagai negara yang baik, sebaliknya Sparta adalah negara yang buruk. Kata berikutnya, hikmah, menyesuaikan dengan nama kakaknya, Hokma, yang berasal dari kata ha-ka-ma, ya-h-ku-mu, hu-k-man, wa hi-k-ma-tan, yang sering diartikan dengan kebijaksanaan. Seorang hakim, yang memutuskan hukum, haruslah orang yang bijaksana. Kata bijaksana ini juga terhubung dengan tradisi intelektual tingkat tinggi karena berarti filosofia, filsafat, atau falsafah. Bahkan digunakan oleh dua filsuf muslim terkenal, Syuhrawardi al-Maqtul bagi karya monumentalnya “Hikmat al-Isyraaq” (Filsafat Pencerahan) dan Mulla Sadra bagi karya terkenalnya “Hikmat al-Muta’aaliyah” (Filsafat atau tepatnya Teosofi Transendental). Ini cocok dengan pikiran saya saat itu, bahkan pikiran manusia harus berlandaskan kepada firman Allah. Pikir harus berkait, bahkan berlandaskan dzikir. Kata hikmah itulah yang mencakup keduanya. Terlebih kata itu juga ditekankan berkali-kali di dalam al-Qur’an sebagai bahan ajar (al-Baqarah: 129 dan 151, Ali Imran: 164, dan al-Jumu’ah: 2). Saya makin menemukan benang merah keterkaitan antara filsafat dengan agama. Sebab, di dalam filsafat ada penekanan pada logika. Sayang kemudian disalahpahami, atau ada kesengajaan membangun kesalahpahaman. Logika dalam bahasa Yunani adalah logos, sering diartikan ilmu. Arti sesungguhnya adalah firman. Cocok. Firman adalah ilmu dari Tuhan, karena sesungguhnya manusia tidak tahu apa-apa. Allahlah yang Maha Tahu. Sedangkan kata ketiga, tentu juga harus menyesuaikan agar orang makin bisa memastikan bahwa anak saya berjenis kelamin perempuan. Saya mencari yang berhubungan dengan diin juga. Dan saya langsung menemukannya. Saya sudah lama mengenal kata millah sebagai sinonim kata diin. Sejak mengaji tafsir Jalalain, baik di rumah dengan bapak saya, terlebih di pesantren saat SMU dulu, ditambah dengan membaca buku-buku Nurcholish Madjid saat awal masuk HMI, saya akrab sekali dengan kata ini, terutama sebagai agama Ibrahim. Saya bahagia sekali menemukan rangkaian kata Atena Hekmata Mellatena. Dengan keyakinan dan tetap saya sertai do’a memiliki sepasang anak lelaki dan perempuan, saya mantap dengan nama itu. Bahkan kemudian saat mendirikan PAUD untuk Hokma yang baru berumur belasan bulan, saya menggunakan nama Mellatena. Maka jadilah PAUD yang kami dirikan itu kami beri nama PAUD Islam Mellatena, Islam agana kami, artinya. Hokma belajar di sekolah yang sesungguhnya masih berupa garasi mobil sebuah rumah kontrakan yang waktu itu kami gunakan juga sebagai rumah perkaderan Monash Institute. Tujuh belas bulan setelah kelahiran Hokma, lahir adiknya yang benar-benar saya beri nama Atena Hekmata Mellatena, tepatnya pada 19-09-2012. Sebelum Hekma berusia setahun, dia sudah ikut masnya belajar di PAUD Mellatena. Dia belajar di sekolah yang namanya adalah kata terakhir pada namanya sendiri.

Setelah Hekma lahir, istri saya fokus menyelesaikan studinya di Program Spesialis Anak FK Undip. Karena kehamilan Hekma, istri saya terkena vonis skorsing selama setahun. Sebab, di awal masuk prgram spesialis anak, kami memang dipanggil secara khusus untuk menandatangani perjanjian, di antara isinya adalah merencanakan kehamilan dengan boleh hamil hanya sekali selama proses studi. Setelah pergi pagi-pagi dan pulang agak malam, akhirnya dia diwisuda sebagai spesialis anak pada awal 2016. Lepas dari tugas-tugas studi itu, kami merencanakan kembali untuk memiliki anak berikutnya. Kami menunggu kira-kira setahun sampai akhirnya tanda-tanda gembira itu datang. Istri saya hamil dan melahirkan pada 07-02-2018. Tahun itu, suasana sosial politik saya baca sebagai keadaan yang jauh dari ideal. Ini tentu bacaan saya pribadi berdasarkan pengamatan yang cukup dekat dengan episentrum kekuasaan di Jakarta dan bergaul dengan cukup banyak politisi dari hampir semua partai dan juga birokrat di kementerian. Banyak posisi kenegaraan yang strategis jatuh ke tangan orang-orang yang dalam studi ilmu politik layak disebut medioker. Karena itulah, saya punya harapan agar Allah menyerahkan kekuasaan kepada yang memiliki komitmen untuk tidak korupsi dan benar-benar punya political will untuk memperbaiki. Keadaan itu menginspirasi saya sebuah nama Atana Molka Baladena. Makna Atana sama dengan nama kakak lelakinya. Molka sesungguhnya berasal dari kata mulkun, berarti kekuasaan, atau makna klasiknya kerajaan. Karena posisinya adalah objek, maka jadi mulka. Huruf U jadi O. Sedangkan baladena sesungguhnya adalah baladinaa. Balad berarti negeri atau negara. Jadi makna rangkaian ketiga kata itu adalah “Semoga Allah memberikan kekuasaan kepada kami/kita”. Do’a umumnya adalah agar kekuasaan itu tidak dikuasai oleh orang-orang yang menggunakannya untuk selain membangun dan mewujudkan kebaikan bersama berdasarkan panduan Allah agar terwujud yang disebut al-Qur’an dg “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur” (Saba’: 15).

Setelah kelahiran Molka, istri saya bilang: “tiga anak cukup”. Seperti iklan KB BKKBN yang menyesatkan itu dengan mengganti angka dua menjadi tiga. Katanya, melahirkan itu bukan sesuatu yang ringan. Nyerinya masih terasa, katanya. Ditambah lagi dengan saya yang jarang di rumah. Namun, saya tak bosan melakukan negosiasi untuk meyakinkannya agar kami punya minimal enam anak. Saya mengajukan berbagai alasan, dari yang serius, agak serius, sampai yang asal-asalan. Yang serius adalah Nabi Muhammad akan membanggakan ummatnya yang banyak dan kita harus berkontribusi di dalamnya, ditambah dengan pentingnya punya kader biologis karena mendidik anak sendiri beda dengan mendidik orang lain. Yang setengah serius, jangan kalah oleh ibu kita; ibu saya punya empat anak, ibunya juga. Kalau hanya tiga, berarti kalah satu. Yang asal-asalan adalah sudah saya siapkan nama pasangan untuk Molka kalau adiknya perempuan, yaitu Atena Melka Baldatena, yang berarti “Yaa Allah berikanlah kepada kami kepemilikan negeri kami”. Juga sepasang lagi nama unik yang saya ambil dari hadits Nabi, Ittaqi Aynamaa KUNTA dan Ittaqii Haytsumaa KUNTI. Panggilannya seperti tokoh pewayangan dalam bahasa Jawa, tetapi sesungguhnya adalah bahasa Arab yang berarti “Bertakwalah kamu di mana pun berada”. Hokma dan Hekma juga sudah sangat akrab dengan nama panggilan Kunta dan Kunti itu, walaupun kadang-kadang diplesetkan menjadi kuntil anak. Panggilan itu saya gunakan untuk meyakinkan istri saya bahwa itu cocok sekali sebagai nama cucu mertua saya, yang tentu adalah ibunya, yang merupakan guru besar dengan fokus kajian “Islam dan Kebudayaan Jawa”. Segala cara saya lakukan untuk membuatnya mau punya dua belas anak, minimal separuhnya. Namun, pada akhirnya saya harus memahami keberatan istri saya. Karena itu, ketika seorang yunior meminta nama itu untuk namanya, saya mengikhlaskannya. Suatu ketika, dalam suasana negosiasi untuk punya anak lagi, istri saya keceplosan, mengucapkan kalimat yang logikanya bisa ditarik bahwa dia bersedia punya anak lagi. Namun, itu yang terakhir. Saya langsung menekankannya, walaupun perdebatan sambil tertawa-tawa untuk mencabut kesediaan itu masih terjadi.

Sampai suatu siang di akhir pekan, istri saya mengatakan bahwa harapan dan do’a saya terkabulkan dengan menunjukkan hasil test pack. Saya langsung mengucap hamdalah. Harapan saya tentu saja perempuan, sehingga nama panggilan untuk anak-anak saya menjadi berpola sama Hokma-Hekma dan Molka-Melka. Namun, manusia hanya bisa berencana. Allahlah yang menentukannya. Berdasarkan hasil USG, anak di dalam kandungan istri saya berjenis kelamin laki-laki. Saya tetap bahagia, karena akan memiliki tiga jagoan. Maka saya mencari kalimat yang cocok dengan tetap menggunakan kata depan Atana. Ketemulah rangkaian Atana Dawla Boldanena, “Semoga Allah memberikan kedaulatan negeri-negeri kami”. Kata dawla aslinya dawlah, berarti kedaulatan, sovereignty. Tekanan asing datang silih berganti, dan yang memprihatinkan adalah banyak di antara elite kita memanfaatkan itu untuk keuntungan sendiri. Boldan atau aslinya buldaan adalah bentuk plural kata balad, kata yang sudah jadi nama kakaknya. Rangkaian ketiga kata itu, bagi saya merupakan do’a untuk meminta solusi atas keadaan memprihatinkan tentang realitas kenegaraan saat menjelang dia dilahirkan pada 04-10-2019 persis dengan hari perkiraan lahir (HPL) oleh dokter.

Mohon doakan, anak-anak saya menjadi manusia yang banyak manfaat untuk sebanyak-banyak orang. Menjadi pemimpin bagi orang-orang bertakwa sebagaimana do’a dalam salah satu ayat al-Qur’an (al-Furqan: 74). Aamiin. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Oleh: Mohammad Nasih
Abu HoHeMoDa, Guru Utama di Rumah Perkaderan MONASH INSTITUTE Semarang

Leave a Reply