Info : 0857 1100 4404

18
Okt

Majnun

Oleh: Dr. Mohammad Nasih (Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ; Guru Utama di Rumah Perkaderan Monash Institute)

Majnûn adalah salah satu kata dalam bahasa Arab yang mengalami pergeseran semantik sampai seringkali mengalihkan makna aslinya. Majnun sering diartikan dengan gila. Padahal tidak semua kegilaan disebabkan oleh sebuah mekanisme yang disebut majnûn ini. Sesungguhnya, makna asli kata majnûn adalah kerasukan jin. Kata majnûn berasal dari kata janna, yajinnu, junûn.

Konteks kemunculan kata majnûn adalah kepercayaan masyarakat Arab pra Islam yang percaya kepada para penyair sebagai pemimpin suku, karena dianggap sebagai orang yang bisa mengetahui masa depan dan bisa mengungkapkan segala pengetahuan yang mereka miliki dengan untaian kata-kata yang sangat indah, karena berima sangat teratur. Kemampuan mereka itulah yang membuat masyarakat percaya bahwa kemampuan mereka itu, karena mereka memiliki khadam atau pembantu yang berasal dari alam gaib. Itulah jin.

Tradisi bersyair ini sangat mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Arab. Bahkan Toshihiko Izutsu, seorang pakar linguistik Jepang, mengatakan bahwa perang dan damai bisa ditentukan oleh para penyair. Keunggulan dan ketersinggungan sebuah suku, bisa disebabkan oleh puisi. Sebuah balas pantun yang dimenangkan bisa mengangkat derajat sebuah suku. Sebaliknya, yang kalah bisa merasa rendah, karena dianggap kalah cerdas. Dan biasanya, jika sudah demikian, jalan untuk mengembalikan supremasi suku adalah perang. Kemenangan dalam perang itulah yang dianggap bisa mengembalikan kemulian suku yang telah hilang, karena kalah dalam berbalas pantun. Kekalahan dalam balas pantun itu biasanya dilegitimasi dengan alasan bahwa teman sang penyair sedang tidak bersamanya, sehingga dia tidak bisa mengeluarkan kalimat-kalimat yang indah untuk membalas.

Kecintaan masyarakat Arab pra Islam kepada puisi itulah di antara konteks sebab mengapa Allah memberikan mu’jizat kepada Nabi Muhammad berupa kitab al-Qur’an dengan bahasa sastra yang sangat mengagumkan. Dan karena bahasa yang sangat mengagumkan itulah, Nabi Muhammad awalnya dituduh sebagai orang yang majnûn. Sekali lagi, bukan gila yang mereka maksudkan, tetapi kerasukan jin. Bahkan sesungguhnya Nabi Muhammad sendiri awalnya mengira bahwa ia sedang kerasukan jin. Sebab, secara tiba-tiba, ia bisa melantunkan kalimat-kalimat indah pada saat bertahannuts di gua Hira’. Muhammad sebelum diangkat menjadi rasul, tidak memiliki rekam jejak sebagai orang yang memiliki kebiasaan mengeluarkan kata-kata indah. Walaupun ia dikenal sebagai orang yang sangat cerdas, ia lebih dikenal sebagai orang yang sangat dipercaya sehingga mendapat julukan al-Amîn.

Setelah diangkat menjadi rasul, dan ia sendiri yakin bahwa kalimat-kalimat yang ia sampaikan adalah wahyu Allah, bukan karena kerasukan jin, karena diyakinkan pula oleh Allah (QS. al-Qalam: 1-3), maka dengan tekad yang kuat sepenuh keyakinan, ia menyampaikan wahyu yang sangat indah dan substansi ajaran yang sangat dalam itu kepada masyarakat. Namun, karena yang disampaikan oleh Nabi Muhammad adalah kalimat-kalimat yang sangat indah, maka mereka kemudian menuduh Nabi Muhammad sebagai seorang yang kerasukan jin. Itulah argumen yang mereka sampaikan untuk menolak agama baru yang dibawa oleh Nabi Muhammad sebagai ajaran yang berasal dari Allah. Sebab, jika mereka menerima ajaran Nabi Muhammad, mereka telah memperkirakan bahwa posisi mereka sebagai elite masyarakat akan tergeser bahkan tergusur. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Leave a Reply