Info : 0857 1100 4404

18
Okt

al-Ikhlash

Oleh: Dr. Mohammad Nasih (Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ; Guru Utama di Rumah Perkaderan Monash Institute)

 Al-Ikhlâsh berasal dari kata a-kh-la-sha, berarti memurnikan. Ia adalah nama salah satu surat, tepatnya surat ke-112, dalam al-Qur’an. Biasanya, nama-nama surat dalam al-Qur’an diambil dari salah satu kata atau frase yang ada di dalamnya. Misalnya: dinamakan al-Baqarah (sapi betina) karena di dalamnya ada kata baqarah dalam rangkaian kisah tentang penyembelihan seekor sapi betina oleh seseorang dari Bani Israel. Disebut Ali Imrân (keluarga Imran) karena kata Ali Imran ada di dalam surat tersebut dalam rangkaian kisah tentang keluarga seorang yang sangat dimuliakan bernama Imrân. Dan seterusnya. Selain al-Ikhlash, hanya al-Fatihah saja nama surat yang bukan merupakan salah satu kata yang terdapat di dalam rangkaian ayat-ayatnya.

Mengapa kata al-ikhlash dijadikan sebagai nama surat yang di dalamnya tidak ada kata tersebut? Sebab, di dalamnya terdapat ayat-ayat yang, dari awal sampai akhir, menegaskan pembangunan paradigma teologis bahwa Allah adalah esa: “Katakanlah (Muhammad): ‘Dia (Allah) adalah Esa. Allah menjadi tempat bergantung. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada yang sebanding/setara denganNya.” (al-Ikhlash: 1-4).

Ayat ini diturunkan terutama karena yang dihadapi oleh Nabi Muhammad adalah orang-orang yang berpaham teologi politeistik (musyrik, baca: menyekutukan Allah). Mayoritas mereka sesungguhnya sudah mengenal Allah sebagai Tuhan. Namun, konsepsi ketuhanan mereka keliru. Mereka mencampur-adukkan iman mereka kepada Allah dengan sesuatu yang lain yang mereka anggap sebagai yang mereka juga harus sembah. Mereka menganggap bahwa Allah memiliki anak dan/atau sekutu/tandingan (oposan). Misalnya, mereka menganggap bahwa malaikat adalah anak-anak perempuan Allah. Sebagian penganut agama Yahudi menganggap bahwa Uzair adalah anak Allah. Demikian pula, mayoritas penganut Nashrani berpandangan bahwa Isa atau Yesus adalah anak Allah. Sikap mereka ini mendapatkan kritikan yang sangat terang-terangan dari Islam. Bahkan al-Qur’an menyatakan: “Maka mintalah pandangan kepada mereka, apakah untuk Tuhanmu anak-anak perempuan, sedangkan untuk mereka anak-anak lelaki? Apakah mereka menyaksikan bahwa Kami menciptakan para malaikat (berjenis kelamin) perempuan?  Ingatlah, sesungguhnya mereka dalam cerita bohong mereka mengatakan: “Allah beranak”. Dan sesungguhnya mereka berdusta. Apakah Allah lebih memilih anak perempuan atas lelaki?”. al-Shâffât: 149-154)

Mereka berpandangan apologetik bahwa tuhan-tuhan kecil yang mereka sembah sesungguhnya hanyalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah semata. Dalam kerangka berpikir mereka, Allah adalah Tuhan tertinggi.

Islam mengajarkan bahwa untuk mendekatkan diri kepada Allah tidak perlu dengan cara-cara demikian. Semua itu tidak lain hanyalah dugaan-dugaan mereka saja yang tidak ada hujjah atau argumentasi sama sekali dari Allah Swt.. Karena itulah, Allah kemudian menegaskan paradigma pemurnian atau pembersihan ketuhanannya dari tuhan-tuhan lain. QS. al-Ikhlash merupakan surat yang berisi tentang ayat-ayat yang tegas dan sangat lugas melakukan koreksi total terhadap perspektif ketuhan yang keliru yang mereka miliki.

Sesungguhnya, tidak sedikit ayat dalam al-Qur’an yang memberikan perspektif yang sama. Di antaranya adalah “Dan mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan menjadi orang-orang yang memurnikan komitmen (hanya kepadaNya), dengan pula menjadi orang-orang yang hanif.” (al-Bayyinah: 5). Wallahu a’lam bi al-shawab.

Leave a Reply