Haram
Oleh: Dr. Mohammad Nasih (Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ; Guru Utama di Rumah Perkaderan Monash Institute)
Haram merupakan kata bahasa Arab yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia dan sering dipahami sebagai larangan. Bahkan, dalam definisi, haram adalah larangan untuk melakukan sesuatu karena keburukan yang ada padanya. Misalnya, haram memakan bangkai, haram memakan daging bagi, dan haram melakukan zina. Namun, sesungguhnya, makna dasar kata haram justru adalah mulia, misalnya: masjid al-haram (masjid yang mulia), al-haramayn (dua tanah mulia, baca: Makkah dan Madinah) dan khadim al-haramayn (pelayan dua kota yang mulia). Kedua makna tersebut berada pada posisi yang kontradiktif atau berlawanan.
Kata maram mengalami pergeseran semantik dari “mulia”, lalu muncul makna baru “dilarang”, karena praktik pensakralan terhadap benda-benda yang dianggap mulia. Dari sinilah, muncul kata “keramat” dan “hormat” dalam bahasa Indonesia. Sesuatu yang dikeramatkan, berarti dimuliakan atau disakralkan, sehingga memunculkan tabu bagi orang yang mempercayainya. Demikian pula, sesuatu yang dihormati, tidak boleh diperlakukan sembarangan, bahkan dianggap sebagai yang tidak boleh disentuh (untouchble). Di antara contohnya adalah praktik pengkeramatan atau pensakralan kepada hewan; unta dan kambing. Al-Qur’an merekam praktik pensakralan ini dan sekaligus mengkritiknya sebagai praktik yang tidak memiliki dasar teologis sama sekali.
“Allah tidak pernah mensyariatkan adanya bahîrah, sâ’ibah, washîlah, dan hâm. Tetapi orang orang kafir membuat buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti.” (al-Mâ’idah: 103)
Bahîrah, sâ’ibah, washîlah, dan hâm adalah nama-nama yang diberikan kepada hewan-hewan yang mereka keramatkan pada zaman jahiliyah. Bahîrah adalah unta betina yang telah beranak lima kali dan yang kelima berjenis kelamin jantan, lalu telinga unta induk itu dibelah, dilepaskan, tidak boleh ditunggangi lagi dan air susunya tidak boleh diambil. Sâ’ibah adalah unta betina yang dijadikan sebagai nadzar. Karena daerah Arab adalah padang gurun yang ganas, maka biasanya mereka bernadzar apabila selamat dalam menjalankan perjalanan jauh dan sukses dalam urusan, mereka akan menjadikan seekor unta yang mereka miliki sebagai saibah. Washîlah (dengan shad, bukan sin) adalah seekor domba jantan yang lahir secara kembar dengan betina lalu diserahkan kepada berhala. Hâm adalah unta jantan yang telah membuntingkan unta betina sebanyak sepuluh kali.
Hewan-hewan dengan kriteria tersebut dihormati sedemikian rupa alias dikeramatkan berdasarkan kebiasaan saja yang berlaku dalam masyarakat. Mereka melarang menyembelih dan/atau memanfaatkan air susunya karena dugaan-dugaan mereka belaka, tanpa dasar yang bisa dipertanggungjawabkan. Dari penghormatan yang berlebihan itulah, kemudian muncul sikap melarang untuk “menyentuh” untuk keperluan apa pun. Karena itulah, kata haram mengalami pergeseran semantik, sehingga bahkan melahirkan makna yang seolah berlawanan. Makna awal haram adalah mulia, terhormat. Namun, kemudian justru menjadi buruk dan menjijikkan. Wallahu a’lam bi al-shawab.