Tahlilan
Oleh: Dr. Mohammad Nasih (Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ; Guru Utama di Rumah Perkaderan Monash Institute)
Tahlîl secara harfiyah berarti membaca lâ ilâha illâ Allâh (tiada tuhan selain Allah). Dalam kajian teologi Islam, kalimat ini disebut sebagai kalimat tauhid, yakni kalimat yang berisi tentang ajaran penegasan bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah saja. Dalam aspek ini, sejak pertama kali ayat al-Qur’an diturunkan sampai yang terakhir, tidak pernah ada perubahan konsep ketuhanan. Islam tidak pernah berkompromi terhadap paham banyak tuhan (politeisme) dan juga tidak ada tuhan sama sekali (ateisme). Ketika Nabi Muhammad diajak untuk berkompromi dengan cara bergantian dalam melakukan penyembahan, Allah menurunkan wahyu yang tegas QS. al-Kâfirûn.
Dalam praktik keagamaan di Indonesia, terutama di kalangan NU, tahlîl menjadi sebutan bagi bacaan yang tidak hanya sebatas lâ ilâha illâ Allâh. Ada rangkaian bacaan lain yang dimulai dari QS. al-Fâtihah, dilanjutkan dengan awal al-Baqarah: 1-5, lalu ayat kursi (al-Baqarah: 255), dan diakhiri dengan tiga surat terakhir al-Ikhlâsh, al-Falaq, dan al-Naâs, dengan pengulangan QS. al-Ikhlâsh sebanyak tiga kali.
Bacaan-bacaan tersebut memang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah, tetapi memiliki kerangka berfikir yang jelas disebabkan oleh konteks sosio historis, yaitu masyarakat muslim di luar bangsa Arab yang belum memiliki akses yang cukup memadai kepada al-Qur’an. Bahkan sesungguhnya masyarakat yang menggunakan bahasa al-Qur’an sendiri. Jika pada masa awal Islam hanya terdapat tidak sampai ratusan penghafal al-Qur’an yang diakui keahlian mereka, maka pada saat Islam telah tersebar dengan sangat cepat ke negeri-negeri di luar Arab, prosentase umat Islam yang tidak memiliki akses kepada al-Qur’an menjadi semakin besar. Sementara umat yang semakin banyak tersebut harus didekatkan dan dibiasakan dengan al-Qur’an. Tentu saja diperlukan strategi yang canggih. Formula bacaan tersebut, karena hanya terdiri atas beberapa surat dan ayat pendek saja, bisa dibaca oleh kalangan awam sekalipun dengan hafalan di luar kepala. Namun, bacaan tersebut bernilai sama dengan keseluruhan al-Qur’an. Itulah yang kini menjadi formula bacaan yang sering disebut “tahlîl” dan pelaksanaannya dalam bahasa yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia disebut “tahlilan”.
Bacaan al-Fatihah dan al-Baqaarah sebagai simbol bagian awal al-Qur’an. Ayat kursi adalah bagian tengahnya dan menurut Ibnu Katsir berdasarkan hadits shahih, ia merupakan ayat teragung. Sedangkan tiga surat terakhir sebagai bagian akhir al-Qur’an. Bacaan yang pendek itu telah bernilai sama dengan bacaan al-Qur’an, karena bacaan tiga kali QS. al-Ikhlash bernilai setara dengan membaca al-Qur’an secara keseluruhan berdasarkan beberapa hadits shahih.
Ketika akses kepada al-Qur’an masih sulit, belum seperti sekarang ini, tentu formula bacaan tahlîlan tersebut sangat membantu para pendakwah Islam, agar masyarakat muslim yang awam sekalipun memiliki kebiasaan membaca al-Qur’an. Sebab, budaya tahlîlan tersebut akan membuat masyarakat yang memiliki akses sangat terbatas kepada al-Qur’an tidak merasa terlalu kesulitan. Dengan demikian, ajaran-ajaran Islam akan menjadi relatif mudah mereka terima dan pertahankan.
Tugas para guru, ustadz, kiai, dan semacamnya sekarang ini adalah lebih memasyarakatkan al-Qur’an, membaca, mempelajari, dan memahami al-Qur’an secara keseluruhan. Sebab akses kepada al-Qur’an telah menjadi semakin mudah, bahkan sangat mudah. Literasi umat Islam harus terus ditingkatkan secara akseleratif. Dengan jalan itulah, umat Islam akan bisa memahami al-Qur’an dengan lebih baik, sehingga lebih bersemangat dalam mengimplementasikan ajaran-ajarannya untuk diri sendiri, dan kemudian memperjuangkan implementasinya dalam masyarakat, juga dalam konteks kehidupan bernegara. Wallahu a’lam bi al-shawab.