Kitab, Hukum, dan Hikmah
KITAB
Kata “kitâb” biasanya dipahami secara sederhana sebagai buku. Di antara yang sering diartikan demikian adalah yang terdapat dalam: “Kitab (dipahami: buku) itu, tidak ada keraguan di dalamnya…” (al-Baqarah: 2). Dalam konteks sekarang, mengartikannya demikian, seolah tanpa masalah. Namun, jika melibatkan sejarah penulisan dan kodifikasi al-Qur’an, arti tersebut bisa dikatakan sebagai bagian dari masalah dalam memahami al-Qur’an dan juga Islam secara umum.
Pada masa awal Islam, al-Qur’an belum berbentuk buku. Di antara para sahabat hanya menulis al-Qur’an yang didiktekan oleh Nabi Muhammad pada bebatuan, kulit binatang, dedaunan, dan lain sebagainya secara “berserak”. Pengumpulan al-Qur’an baru dilakukan pada masa Abu Bakar. Umar bin Khaththab mengusulkannya, karena khawatir al-Qur’an akan hilang. Sebab, saat itu banyak penghafal al-Qur’an syahid di medan perang menundukkan orang-orang murtad. Abu Bakar awalnya menolak usul tersebut, karena ia berpandangan bahwa itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad. Namun, Umar terus meyakinkan bahwa itu adalah langkah yang baik dan tepat. Abu Bakar kemudian benar-benar melakukannya dengan membentuk tim yang bekerja ekstra teliti. Pada saat inilah, kumpulan ayat-ayat itu disebut mushhaf.
Dalam sejarah selajutnya di era kepemimpinan Utsman Bin Affan, untuk kepentingan ketepatan dalam membaca dan memahami al-Qur’an, dibuatlah mushhaf resmi yang kemudian disebarkan ke berbagai wilayah pemerintahan Islam. Karena itulah, mushhaf versi itu disebut sebagai mushhaf Utsmani. Dalam masa inilah, al-Qur’an dikenal dalam bentuk buku.
Nah, sebelum dilakukan upaya pengumpulan al-Qur’an tersebut, kata kitâb telah ada dan dibaca (baca: diucapkan) oleh para sahabat. Mereka tentu saja tidak mungkin memahami kata kitâb sebagai buku. Sebab, secara faktual benda konkretnya tidak (baca: belum) ada. Sedangkan mereka pasti telah memahami kata kitâb pada saat itu. Karena itu, memaknai kata kitâb dengan buku tentu saja tidaklah tepat.
Kata kitâb berbentuk lampau (mâdlî) ka-ta-ba, berarti menetapkan. Kata ini digunakan oleh al-Qur’an dalam bentuk pasif ku-ti-ba (ditetapkan), misalnya: “… telah ditetapkan atas kalian berpuasa, …” (al-Baqarah: 183). Karena itu, makna yang paling tepat untuk kata kitâb sesungguhnya adalah “ketetapan”. Makna ini sangat relevan dengan kenyataan al-Qur’an, karena sebagian kandungan al-Qur’an sesungguhnya adalah ketetapan Allah. Di antara contohnya adalah: orang beriman masuk surga, orang kafir masuk neraka, haram berzina, haram minum minuman keras, haram menikahi dua perempuan bersaudara kandung sekaligus.
Dalam era sejarah selanjutnya, ketetapan-ketetapan yang sebelumnya hanya disimpan dalam pikiran, kemudian didokumentasikan dalam bentuk tulisan walaupun masih berserak, lalu dikodifikasikan secara lebih rapi. Inilah yang nampaknya membuat makna “ketetapan” untuk kata kitâb menjadi tertutup dan kemudian sulit ditangkap lagi. Segala hal yang dinyatakan dengan perintah atau larangan yang jelas disebut kitâb (ketetapan), sedangkan yang lebih longgar disebut hikmah (kebijaksanaan). Wallahu a’lam bi al-shawab.
HIKMAH
Hikmah merupakan bahasa Arab; sering diartikan dengan kebijaksanaan. Dalam bahasa Indonesia, kata ini menghasilkan beberapa kata turunan, yaitu: hukum (aturan), hakim (pengambil keputusan di pengadilan berdasarkan aturan resmi negara, atau di luar pengadilan berdasarkan nilai atau adat yang dianut), dan mahkamah (tempat pengambilan keputusan yang bijaksana). Kebijaksanaan didapatkan dengan cara menggali secara mendalam dan menarik pemahaman secara utuh dari balik sebuah atau berbagai pesan yang tidak memberikan ketetapan atau kepastian. Karena itulah, seseorang yang memiliki kemampuan untuk memutuskan suatu perkara yang pelik atau rumit disebut hakim. Sebab, hanya orang dengan kebijaksanaan tinggi sajalah yang bisa memberikan keputusan yang tepat atau adil, tidak berat sebelah. Tanpa kebijaksanaan, keputusan yang diambil akan tidak sesuai dan bisa menyebabkan kerugiaan atas salah satu pihak.
Prasyarat untuk memiliki hikmah adalah ketajaman akal-pikiran untuk melihat dan membaca berbagai fenomena dalam kehidupan. Dengan semakin banyak melihat fenomena yang terjadi pada berbagai aspek kehidupan, akan ada banyak pelajaran yang bisa dicerap dan ditangkap, sehingga menjadi semakin bijak dalam melakukan penilaian. Dengan keluasan cakrawala, akal-pikiran akan lebih terbuka, sehingga mengetahui jalan yang paling efektif dan juga paling efisien untuk mewujudkan tujuan untuk menciptakan kebaikan dan/atau perbaikan. Tanpa kebijaksanaan, niat baik untuk mewujudkan kebaikan atau perbaikan, bisa saja justru dipandang sebagai sesuatu yang buruk oleh orang lain, sehingga niat baik menjadi sulit untuk diwujudkan. Karena itulah, dalam menyerukan (dakwah) agama Islam, Allah menegaskan agar melakukannya dengan hikmah (bijaksana) dan mau’idhah hasanah (pesan yang baik). Dengan demikian, kesempurnaan ajaran Islam akan benar-benar terlihat sebagai ajaran yang mengarahkan kepada perbaikan dan kebaikan.
Tujuan mewujudkan kebaikan yang dilakukan dengan jalan yang tidak baik, seringkali justru akan membuat kebaikan dilihat sebagai ketidakbaikan. Jika kebaikan dinilai sebagai ketidakbaikan, maka tentu saja orang-orang yang sesungguhnya memiliki kecenderungan baik, akan menjadi sulit untuk menerimanya. Bahkan tidak menutup kemungkinan akan berusaha untuk menolaknya dengan segala kekuatan.
Hikmah tertinggi adalah hikmah yang berasal dari Allah Swt., berupa pesan-pesan yang terdapat dalam al-Qur’an. Karena itulah, Allah sendiri, di dalam al-Qur’an mengatakan bahwa “Allah memberikan hikmah kepada siapa pun yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa diberi hikmah olehNya, maka sungguh ia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidaklah menyadari hal tersebut kecuali orang-orang yang memiliki kecerdasan tinggi.” (al-Baqarah: 269). Al-Qur’an mengisyaratkan orang-orang dengan kedalaman ilmu pengetahuan memiliki peluang untuk menangkap hikmah dari ajaran agamaNya. Kebijaksanaan yang menjadi keputusan atau kebijakan politik yang didasarkan pada ijtihad (kesungguhan) menggali pemahaman terhadap ayat-ayat Allah, jika benar akan mendapatkan dua pahala. Dan jika pun salah, akan tetap mendapatkan satu pahala. Wallahu a’lam bi al-shawab.
HUKUM
Setelah mengupas tentang kitâb (ketetapan) dan hikmah (kebijaksanaan), kini masuk pembahasan kepada hukum. Bentuk lain kata “hikmah” adalah hukm (Indonesia: hukum). Makna dasar kata ini sesungguhnya adalah “menghalangi”. Maksudnya adalah menghalangi orang lain untuk melakukan tindakan aniaya terhadap orang lain. Karena itu, hukum bisa dipahami sebagai perangkat aturan untuk menghalangi seseorang dari tindakan yang merugikan pihak atau orang lain. Dengan adanya hukum, diharapkan tidak ada pihak yang menderita kerugian. Pelaku tindak kedhaliman mendapatkan ancaman sanksi atau juga disebut hukuman. Dari sinilah muncul ide hukuman penjara, apabila tindakan kedhaliman yang dilakukan tidak sampai kepada konsekuensi kepada hukuman mati. Dengan memenjarakan yang telah berbuat kedhaliman, maka yang bersangkutan tidak akan bisa mengulangi perbuatannya lagi, karena dia terhalang oleh jeruji penjara.
Berbeda dengan hikmah yang secara umum berkonotasi longgar atau fleksibel, hukum dipahami sebagai aturan yang bersifat pasti. Namun, sesungguhnya antara hukum dan kebijaksanaan tidak bisa dipisahkan. Orang yang memiliki pandangan luas dan mendalam untuk menyelesaikan permasalahan pelik, baik di dalam maupun di luar pengadilan, disebut hakim. Al-Qur’an menampilkan figur orang yang sangat bijaksana bernama Luqman yang bergelar “al-Hakim” (Luqman: 12). Julukan tersebut disematkan kepadanya karena kemampuannya menangkap pesan-pesan terdalam Tuhan, lalu menyampaikannya kepada orang lain dengan logis, dialogis, dan persuasif, dengan tujuan orang lain tidak terjerumus dalam kedhaliman, terutama kedhaliman terbesar, yaitu syirik. (Luqman: 13). Sebab, perbuatan dhalim sesungguhnya adalah perbuatan yang tidak logis.
Hikmah yang ditangkap/ditarik dengan baik, bisa diformulasikan menjadi aturan hukum yang bersifat pasti setelah melalui proses tertentu, misalnya proses politik. Dalam konteks ini, hukum kemudian menjadi mirip dengan ketetapan (kitâb), karena berisi ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang yang boleh dan tidak boleh, serta sanksi atas pelanggarnya. Untuk menegakkan hukum, diperlukan kebijaksanaan tinggi. Seorang hakim menjadikan hukum sebagai acuan dalam memutuskan persoalan yang sedang dihadapi dengan mempertimbangkan hal-hal yang melingkupinya. Karena itulah, dalam khazanah bahasa Indonesia, kata bijaksana biasanya disebut bersamaan dengan kata arif, sehingga menjadi arif-bijaksana. Kata arif juga berasal dari kata Arab ‘a-ra-fa yang berarti mengenali atau mengetahui. Menurut KH Ali Maksum, kearifan lahir dari kelembutan pemikiran dalam mencerna dan menghayati pengetahuan serta pengalaman. Sedangkan kebijaksanaan muncul dari keluhuran budi dalam menentukan sikap yang didasari kearifan.
Untuk membuat hukum yang baik dan sesuai dengan kebutuhan membangun negara atau kota yang baik dan menyejahterakan rakyat, diperlukan orang-orang berwawasan luas dan pemikiran yang mendalam. Tidak cukup dengan pengalaman an sich, tetapi bahkan yang terpenting adalah mendasarkan hukum kepada ide-ide Tuhan yang berada dalam al-Qur’an, juga sunnah Nabi Muhammad. Hukum yang berasal dari ajaran-ajaran Allah dan rasulNya adalah yang akan benar-benar menjadi solusi sampai akhir zaman. Ide-ide yang ada di dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad sesungguhnya bervisi jauh ke depan, karena Allahlah yang maha mengetahui dan penangkap terbaik ide Allah adalah para utusanNya. Maka hukum yang didasarkan hanya kepada dugaan-dugaan manusia, bisa disebut sebagai hukum jahiliyah. Sudah terbukti bahwa segala aturan yang dibuat berdasarkan pemikiran manusia belaka, telah gagal memberikan kebaikan kepada umat manusia. Karena itu, kecerdasan tinggi sesungguhnya adalah kecerdasan yang mampu menangkap pesan-pesan Allah yang Maha Tinggi untuk dijadikan sebagai aturan main dalam kehidupan dunia ini. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Oleh: Dr. Mohammad Nasih
Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ; Guru Utama di Rumah Perkaderan Monash Institute