Info : 0857 1100 4404

18
Okt

Fardlu Kifayah

Oleh: Dr. Mohammad Nasih (Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ; Guru Utama di Rumah Perkaderan Monash Institute)

Dalam literatur fikih, terdapat istilah fardlu ‘ain dan fardlu kifayah. Fardlu ‘ain adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap orang yang berakal sehat dan mampu (mukallaf). Jika tidak melakukannya, maka menanggung dosa. Di antara contohnya adalah shalat lima waktu dan puasa Ramadlan. Sedangkan fardlu kifayah adalah kewajiban yang kemudian gugur apabila telah dilaksanakan oleh orang lain, walaupun hanya satu orang saja. Jika tidak ada seorang pun yang melakukannya, maka semuanya berdosa. Kata kifâyah berasal dari kata ka-fâ, berarti cukup. Karena itu, fardlu kifayah sering juga dipahami sebagai kewajiban yang cukup dikerjakan oleh orang atau sekelompok orang tertentu, bahkan satu orang pun bisa jadi. Contoh, amar ma’ruf nahyi munkar dan mempelajari ilmu-ilmu tertentu. Yang paling terkenal menjadi kasus fardlu kifayah adalah mengurus jenazah. Jika telah ada satu orang saja yang mengurusnya, mulai dari memandikan, menshalatkan, sampai menguburkannya, maka kewajiban orang yang selainnya telah gugur dan  karena itu tidak berdosa.

Perkembangan dunia yang kian menuntut pemenuhan kebutuhan hidup yang makin baik, menuntut pula perubahan paradigma tentang definisi fardlu kifayah. Definisi fardlu kifayah perlu direkonstruksi, karena tidak cukup lagi dikonstruksi sebagaimana yang selama ini ada. Sebab, dengan definisi lama tersebut, potensi terjadinya kualitas kerja yang rendah dan hasil yang sangat minimalis menjadi sangat besar. Sangat kecil peluang untuk bisa mencapai hasil kerja yang optimal. Hasil kerja ideal akan lebih bisa dicapai dengan bersama-sama dan lebih baik lagi dengan sinergi. Untuk itu, diperlukan SDM-SDM berkualitas dengan jumlah yang tidak sedikit. Hanya dengan jalan itulah, kebutuhan-kebutuhan hidup akan tercukupi dengan baik.

Dengan menggunakan definisi baru ini, ukuran pemenuhan fardlu kifayah juga harus lebih jelas. Ukurannya harus didasarkan kepada angka-angka yang rasional atau masuk akal. Misalnya, rasio tenaga pendidik dengan peserta didik, dokter atau tenaga kesehatan secara umum dengan pasien, dan lain-lain. Di masa lalu, satu sekolah diajar oleh hanya satu orang guru misalnya. Tentu saja, jumlah ini sangat tidak cukup, di samping karena kompetensi guru yang hampir bisa dipastikan tidak memadai, juga waktu untuk mengajar semua kelas tidak akan cukup. Memaksakan sedikit atau bahkan hanya satu orang saja untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang melampai kemampuan, tentu saja sama hanya akan menghasilkan hasil yang mengecewakan.

Umat Islam harus memiliki paradigma baru tentang fardlu kifayah ini, sehingga memiliki semangat besar untuk mempersiapkan diri dan terutama generasi berikutnya untuk bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan nyata dalam kehidupan saat ini dan di masa yang akan datang. Jawaban terhadap kebutuhan ini, sesungguhnya juga merupakan bukti bahwa umat Islam telah memenuhi perintah al-Qur’an untuk berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan (fa-stabiq al-khayrât) yang konteksnya sesungguhnya adalah berlomba dengan umat yang lain. Jika umat Islam tidak memenuhi perintah ini, maka jumlah umat Islam yang besar, justru hanya akan menjadi sumber keuntungan bagi umat lain yang berimplikasi kepada makin tertinggalnya umat Islam.

Tanggung jawab paling besar untuk memenuhi definisi baru fardlu kifayah ini adalah negara. Negara harus menjalankannya dengan baik dengan memulai memiliki data yang valid dan kemudian benar-benar mewujudkan pelayanan yang baik dengan rasio yang baik antara tenaga profesional yang disediakan dengan kebutuhan nyata di lapangan. Jika telah nyata negara tidak mampu menjalankan kewajibannya, maka diperlukan pihak lain, baik lembaga maupun pribadi yang berkemampuan untuk menjalankannya dan selalu meningkatkan aksi dalam menjalankan fardlu kifayah ini. Wallahu a’lam bi al-shawab.

 

Leave a Reply